Aktivis Sebut Penulisan Ulang Sejarah Bentuk Manipulasi

Usman Hamid.

JAKARTA, TaxSpy.id – Kebijakan revisi naskah sejarah nasional yang tengah dijalankan pemerintah menuai kritik tajam dari kalangan akademisi, aktivis, dan pegiat sejarah. Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menilai langkah tersebut berpotensi menghapus peristiwa dan tokoh-tokoh penting yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan penguasa.

“Tindakan semacam ini adalah manipulasi sejarah. Betapapun gelapnya sejarah, ia harus tetap ditulis meski berdampak terhadap tragedi kemanusiaan dan mengungkapkan kesalahan kebijakan negara di masa lalu,” tegas anggota AKSI, Usman Hamid, dalam keterangannya, belum lama ini.

Bacaan Lainnya

Justru yang dibutuhkan, menurut Usman Hamid, adalah pengungkapan sejarah secara jujur, bukan revisi untuk menciptakan narasi tunggal yang menyenangkan penguasa. Ia menilai kebijakan ini sebagai bentuk reduksi sejarah yang dapat mengancam kebebasan berpikir dan menumpulkan daya kritis generasi muda.

“Revisi naskah sejarah merupakan upaya reduksi yang berbahaya dan berpotensi mengebiri kebebasan berpikir generasi mendatang. Ini bukan proses akademik, melainkan pemaksaan tafsir tunggal oleh negara,” ujarnya.

Aliansi ini sebelumnya juga telah melakukan audiensi dengan Komisi X DPR RI untuk menyampaikan penolakan terhadap proyek penulisan sejarah resmi yang digagas Kementerian Kebudayaan, Senin (19/5/2025) lalu.

Aliansi yang terdiri dari sejarawan, aktivis hak asasi manusia, akademisi lintas disiplin, dan tokoh masyarakat ini menilai proyek tersebut sebagai bentuk pembajakan sejarah oleh negara, yang dikhawatirkan menjadi instrumen legitimasi kekuasaan dan penutupan ruang demokratis dalam membaca masa lalu bangsa.

“Yang paling berbahaya adalah proyek ini bisa digunakan untuk mencuci dosa rezim, baik yang berjalan saat ini maupun yang terjadi selama masa Orba di mana pelanggaran HAM berat terjadi secara masif,” tegas Ketua AKSI, Marzuki Darusman.

Tak hanya itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga cukup keras menyoal langkah Kementerian Kebudayaan dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. KontraS mengingatkan agar penulisan ulang tersebut tidak dilakukan dengan menyudutkan para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya yang terjadi pada masa Orde Baru.

“Seharusnya sejarah tentang pelanggaran HAM dituliskan apa adanya, tidak boleh mendiskreditkan korban atau dituliskan dengan tone yang positif yang pada akhirnya mengaburkan fakta sejarah,” ujar Koordinator KontraS, Hans G Yosua, (17/7/2025).

Hans menegaskan bahwa periode Orde Baru hingga masa Reformasi penuh dengan catatan kelam pelanggaran HAM. Oleh karena itu, menurutnya, sangat disayangkan apabila dalam penulisan ulang sejarah, peristiwa-peristiwa tersebut justru digambarkan dengan narasi yang menyesatkan atau bahkan menyalahkan para korban.

“Sangat disayangkan jika peristiwa itu dituliskan dengan tone yang mendiskreditkan atau terkesan menyalahkan korban,” imbuhnya.

KontraS juga mengkritisi pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangsikan terjadinya pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998. Hans menekankan bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM telah menyimpulkan bahwa kekerasan seksual dalam tragedi tersebut benar-benar terjadi.

“Sangat tidak tepat ya mau disangkal peristiwa yang terjadi di ’98,” tegasnya.

KontraS menyerukan agar pemerintah menghormati kebenaran sejarah dan tidak mengabaikan suara korban dalam proses rekonstruksi narasi sejarah bangsa. Menghapus atau membelokkan fakta sejarah, lanjut Hans, hanya akan melanggengkan impunitas dan memperparah luka kolektif masyarakat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *