Picu Konflik, Polemik Ba’alawi Minta Dihentikan

KH Rakhmad Zailani Kiki.

JAKARTA, TaxSpy.id – Ketua Rabithah Ma’had Islamiyah (RMI) NU Jakarta, KH Rakhmad Zailani Kiki meminta agar polemik nasab Ba’alawi dihentikan. Sebab, menurutnya, memperdebatkan nasab tidak ada untungnya dan justru kontraproduktif.

Ia menilai baik kelompok yang pro maupun kontra nasab Ba’alawi sudah memiliki pandangan masing-masing yang tidak dapat dikompromikan.

“Kami berharap polemik ini disudahi untuk polemik Ba’alawi. Sudahi itu dalam arti apa, masing-masing sudah punya pendapatnya. Artinya yang sudah punya pendapat bahwa klan Ba’alawi tersambung dengan Rosulullah SAW itu sudah tidak bisa diubah pendapatnya sampai kapanpun. Yang anti klan Ba’alawi tersambung dengan Rosulullah SAW juga sudah final and binding,” kata ulama Betawi yang akrab disapa Kiki itu pada Jumat (2/5/2024).

“Artinya dalam posisi tidak bisa lagi digugat, tidak bisa lagi kemudian mereka menerima. Posisi ini adalah posisi yang tidak pernah bisa dikompromikan,” sambungnya.

Ia mengatakan, perdebatan tidak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan. Maka ia menyarankan supaya kubu pro dan kontra Ba’alawi lebih mengedepankan dialog ketimbang debat.

“Jadi hindari lagi ajakan atau kegiatan-kegiatan ngajak debat. Debat itu sebuah upaya untuk menghegemoni keyakinan. Debat itu tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Yang perlu itu anda menghormati pendapat masing-masing,” ujar dia.

Kiai Kiki melihat perdebatan soal nasab ini telah mengancam ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathoniyah. Sebab, perdebatannya sudah bukan sekadar terjadi dalam ruang digital seperti media sosial, tetapi juga terjadi secara nyata di lapangan.

Ia mencontohkan adanya persekusi terhadap seorang tokoh dari klan Ba’alawi, yakni Sayyid Idrus bin Salim Aljufri (SIS Aljufri) atau yang lebih akrab disapa Guru Tua di Palu, Sulawesi Tengah. Dia mengatakan, Guru Tua merupakan salah satu tokoh yang memiliki peran besar dalam dakwah Islam di Indonesia Timur.

“Tapi kemudian dilecehkan oleh orang-orang yang anti Ba’alawi sehingga nama besar beliau kemudian dihinakan. Ini kan sudah hampir menjadi konflik antar masyarakat dan ini sudah masuk isu SARA,” jelas dia.

Begitu juga adanya penghadangan terhadap tokoh-tokoh tertentu yang hendak menyampaikan ceramah. Hal ini dapat mengganggu hubungan persaudaraan sesama Islam atau ukhuwah islamiyah.

Penulis buku “Genealogi Intelektual Ulama Betawi” itu juga mengatakan bahwa polemik nasab Ba’alawi tidak memiliki sintesis sehingga potensi konfliknya sangat tinggi.

“Nah, orang-orang yang mencoba mengambil posisi tengah itu dianggap orang-orang yang tidak punya pendirian, bukan sebagai sintesis akhirnya. Karena apa? Karena ini wilayah sudah keluar dari wilayah akademik. Ini wilayah sudah wilayah sebuah gerakan untuk saling menegasikan,” kata dia.

Lebih lanjut, Kiai Kiki berharap supaya perdebatan soal nasab Ba’alawi ini dikembalikan ke kampus. Sebab, perdebatan ini mengancam terhadap keutuhan bangsa dan rawan konflik horizontal.

“Makanya saya bilang masalah nasab ini kembali ke kampus. Jangan dibawa keluar, berbahaya buat keutuhan negara ini. Secara politik ini sangat merugikan untuk persatuan kesatuan kita,” ucap dia.

Di mengatakan perdebatan soal nasab sudah tidak produktif dan blunder bagi siapapun. Ia menyebut menang jadi arang, kalah jadi abu.

“Sudah tidak produktif dan ini blunder buat siapapun. Istilah saya, menang jadi arang, kalah jadi abu. Apa untungnya? Ngga ada untungnya,” ujarnya.

“Ini kita jaga betul. Saat ini kita sedang menjaga betul agar wilayah gerakan ini tidak termakan oleh orang-orang yang sumbu pendek yang emosinya tinggi dan juga tidak dimanfaatkan oleh mereka yang punya kepentingan atas isu ini,” sambungnya.

Ia menegaskan perdebatan soal nasab sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa.

“Sangat berbahaya. Kalau tanya berbahaya seperti apa level berbahayanya, kalau cabe pedesnya level berapa. Ada level 1, 2 sampai 10, pedesnya ya. Kalau ini level sudah hampir pada posisi mengancam disintegrasi. Memecah belah kita gitu sesama umat Islam di kultur Aswaja Annahdliyah. Kebangsaan secara umum kontraproduktif,” jelasnya.

Karena itu, ia meminta semua pihak untuk menyikapi polemik nasab Ba’alawi ini dengan kepala dingin dan menggunakan intelektualitas.

“Jadikan ini sebagai kajian akademik untuk memperkaya khazanah kita. Polemik itu biasa, tapi kalau misalnya bikin gerakan yang memaksakan kehendak itu akan membuat persoalan baru dan itu premanisme. Premanisme berbentuk intelektualitas. Nah, ini membahayakan bagi ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathoniyah kita,” tuturnya.

Menurut dia, daripada memperdebatkan nasab, sebaiknya bergeser ke masalah sanad. Menghargai orang atas dasar sanad keilmuannya, bukan karena nasab.

“Geserlah ke masalah sanad saja. Kita akan menghargai orang, siapapun dia, dari keilmuannya, nyambung nggak ke Rosulullah SAW. Walaupun dia habib atau syarif kalau sanadnya tidak nyambung ke Rosulullah SAW jangan diikuti,” tegasnya.

“Maka sekali lagi nikmati saja polemik nasab ini dalam ruang lingkup keilmiahan, keintelektualitasan dan kita kedepankan sanad saja. Kesampingkan nasab. Karena pun kita mengkaji gak ada faedahnya. Selain itu urusan subjektifitas, urusan dapur masing-masing dari yang punya nasab, sohibul nasab. Nah kita bukan pemilik nasab itu ya nggak masuk lah. Itu dapur mereka,” pungkasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *